Taufik Ismail Sang Penyair Sufi


Taufik Ismail Sang Penyair Sufi
Bagaimana kita menghayati peran dan kehadiran Taufik Ismail sebagai seorang penyair? Salah satunya adalah dengan menikmati karya-karyanya. Taufik adalah satu dari sedikit penyair yang punya kekahasan. Puisinya bertutur dan berkabar. Sejarawan Kuntowijoyo dalam buku kumpulan Puisi Taufik Malu aku Jadi orang Indonesia (MAJOI), menggelari Taufik sebagai penyair yang menulis sejarah.
Ia mendeskripsikan lewat syair dan kata-kata indah, perjuangan melawan tirani kekuasaan dan kelaliman pemerintah di era orde lama. Pun, ia juga dengan lugas menyentil tradisi ketamakan dan kerakusan para pelaku kekuasaan di era orde baru yang ironisnya turut ia bela kelahirannya.
Tapi mungkin sikap seperti itu yang seharusnya dimiliki oleh seorang penyair, cum sejarawan. Ia melihat ke sekelilingnya, mencermati keadaan, merasakan berbagai kesukaran yang dihadapi masyarakat, merenung, dan menulis, hingga kemudian lahirlah syair-syairnya yang puitis
Dari sekian banyak puisi Taufik Ismail, sebuah puisinya menurut saya sangat religius dan menggugah. Temanya sederhana saja. Tentang bagaimana  kegiatan ritual peribadahan seorang muslim, tak melulu harus dilakukan di mesjid nan megah, yang bertahtakan pualam, dan bertabur kemewahan. Kekhusukan dan penghambaan kita sebagai seorang mahluk kepada Tuhannya, pun bisa dilakukan di sebuah tanah lapang. Karena boleh jadi, itulah mesjid Allah yang sesungguhnya.
Dari catatan penulisnya, puisi ini ditulis di Jeddah, saat Taufik menunaikan ibadah haji tahun 1990. Puisi yang menurut subjektifitas saya begitu sangat indah ini berjudul “Mencari Sebuah Masjid”.
Selengkapnya ..
MENCARI SEBUAH MESJID
Taufiq Ismail

Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan
fondasinya batu karang dan pualam pilihan atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan dan kubahnya tembus pandang, berkilauan
digosok topan kutub utara dan selatan
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan
dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran
dengan warna platina dan keemasan
berbentuk daun-daunan sangat beraturan
serta sarang lebah demikian geometriknya
ranting dan tunas jalin berjalin
bergaris-garis gambar putaran angin
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya menyentuh lapisan ozon
dan menyeru azan tak habis-habisnya
membuat lingkaran mengikat pinggang dunia
kemudian nadanya yang lepas-lepas
disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas
yang memperindah ratusan juta sajadah
di setiap rumah tempatnya singgah
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana
bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya
engkau berjalan sampai waktu asar
tak bisa kau capai saf pertama
sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu
bershalatlah di mana saja
di lantai masjid ini, yang luas luar biasa
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya
yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya
dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya
di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian yang menyimpan cahaya matahari
kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan
ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna
di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta
terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya
tempat orang-orang bersila bersama
dan bermusyawarah tentang dunia  dengan hati terbuka
dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian
dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan
dalam simpul persaudaraan yang sejati
dalam hangat sajadah yang itu juga
terbentang di sebuah masjid yang mana
Tumpas aku dalam rindu
Mengembara mencarinya
Di manakah dia gerangan letaknya ?
Pada suatu hari aku mengikuti matahari
ketika di puncak tergelincir dia sempat
lewat seperempat kuadran turun ke barat
dan terdengar merdunya azan di pegunungan
dan aku pun melayangkan pandangan
mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan
ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan
dia berkata :
“Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan”
dia menunjuk ke tanah ladang itu
dan di atas lahan pertanian dia bentangkan
secarik tikar pandan
kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran
airnya bening dan dingin mengalir beraturan
tanpa kata dia berwudhu duluan
aku pun di bawah air itu menampungkan tangan
ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan
hangat air terasa, bukan dingin kiranya
demikianlah air pancuran
bercampur dengan air mataku
yang bercucuran.
Jeddah 1990.
Indah bukan? Begitulah, hingga saya pun pernah bikin puisi yang maksud hati ingin menyamai keindahan dan kekuatan lirik-liriknya, tapi apa daya puisi itu enggak ada indah-indahnya sama sekali. wajar saja, karena isinya juga cuma kekesalan saya atas hilangnya sandal yang biasa saya pakai saat di kantor.
Kembali ke Taufik Ismail, penyair yang di usia senjanya ini, masih getol menularkan kecintaan generasi muda kepada dunia sastra, khususnya anak-anak sekolah lewat kegiatan apresiasi sastra di sekolah-sekolah. Buat Taufik Ismail, seorang sastrawan sejatinya tidak tinggal di menara gading. Ia harus selalu “turun gunung” dan menyemai kecintaan kita kepada kesusastraan.
(sumber: http://myudiman.wordpress.com)

0 komentar: